Jumat, 12 April 2013

PROPOSAL PENGARUH DISCHARGE PLANNING YANG DILAKUKAN OLEH PERAWAT TERHADAP KESIAPAN PASIEN PASCA BEDAH ABDOMEN MENGHADAPI PEMULANGAN DI RUMAH SAKIT LABUANG BAJI MAKASSAR BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Tindakan operasi atau pembedahan merupakan pengalaman yang sulit bagi hampir semua pasien. Berbagai kemungkinan buruk yang akan membahayakan bagi pasien bisa saja terjadi sehingga diperlukan peran penting perawat dalam setiap tindakan pembedahan dengan melakukan intervensi keperawatan yang tepat untuk mempersiapkan klien baik secara fisik maupun psikis (Rondhianto, 2008). Ada berbagai jenis pembedahan, salah satunya adalah tindakan bedah abdomen. abdomen, atau disebut juga kegawatan abdomen menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama, dan memerlukan penanggulangan segera yang sering adalah tindak pembedahan (Jong, 2004) Setelah tindakan pembedahan, abdomen memiliki resiko untuk terjadinya infeksi akibat terjadinya stres yang sangat serius kepada tubuh. Sistem imun tubuh menjadi lemah dan fungsi gastrointestinal berubah sehingga menyebabkan tubuh rentan terkena infeksi dan menyebabksan status nutrisi insuffisien (Healthnotes. com 2011). Andra (2007) menyatakan pascapembedahan abdomen dengan etiologi non infeksi insiden terjadinya peritonotis sekunder (akibat pecahnya jahitan pembedahan) yang terjadi kurang dari 2%, pascapembedahan untuk penyakit inflamasi tanpa perforasi (misalnya apendisitis, divertikulitis, kolesistitis) resiko untuk terjadinya peritonotis sekunder dan abses peritoneal kurang dari 10%, sedangkan pascapembedahan untuk penyakit kolon gangren dan perforasi visceral resiko terjadinya peritonotis sekunder dan abses meningkat hingga lebih dari 50%. Oleh karena itu perlu di berikan informasi kepada pasien agar mampu mengenali tanda bahaya untuk dilaporkan kepada tenaga medis (Andra, 2007). Sebelum pemulangan pasien dan keluarganya harus mengetahui bagaimana cara memanajemen pemberian perawatan di rumah dan apa yang diharapkan di dalam memperhatikan masalah fisik yang berkelanjutan karena kegagalan untuk mengerti pembatasan atau implikasi masalah kesehatan(tidak siap menghadapi pemulangan) dapat menyebabkan pasien meningkatkan komplikasi (Perry dan Potter, 2006). Ketidaksiapan pasien menghadapi pemulangan juga dapat terjadi karena pasien terlalu cepat dipulangkan sehingga hal ini juga beresiko terhadap terjadinya komplikasi pascabedah setelah di rumah, dan juga dikarenakan pemulangan yang tidak direncanakan yang dapat berakibat kepada hospitalisasi ulang. Hal tersebut di atas sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Williams (2006) bahwa mayoritas pasien yang menerima informasi tentang nyeri dan manajemen luka, aktivitas, nutrisi, dan komplikasi pada umumnya merasakan bahwa tidak mengalami perasaan khawatir yang membuat mereka akan mengadakan kunjungan tidak rutin ke fasilitas kesehatan setelah dipulangkan. Sedangkan pasien yang tidak mendapat informasi tentang nyeri dan manajemen luka menurut Williams (2006) mengalami kekhawatiran yang memaksa mereka untuk melakukan kunjungan tidak rutin kepada suatu fasilitas kesehatan setelah dipulangkan. Menurut data dari WHO (World Health Organization) pada tahun 2009 tercatat di negara amerika serikat yang mengalami penyakit gangguan saluran pencernaan adalah 409 per 100000 jiwa, inggris 538 per 100000 jiwa, jepang 320 per 100000 jiwa dan di Indonesia 721 per 100000 jiwa.(WHO, 2009). Pada tahun 2011 di Indonesia tercatat yang mengalami gangguan pada daerah abdomen sebanyak 61.888 jiwa. Pada pengambilan data awal di rumah sakit Labuang Baji Makassar pada tahun 2010-2012 jumlah penderita penderita Post op. abdomen sebanyak 1581 jiwa dengan jumlah rata-rata hari rawat 5-6 hari. (Medical Record Rumah Sakit Labuang Baji Makassar, 2013). Oleh karena itu pasien perlu dipersiapkan untuk menghadapi pemulangan. Orem (1995 dalam Alligood & Tomey, 2006) mengatakan bahwa intervensi keperawatan dibutuhkan karena adanya ketidakmampuan untuk melakukan perawatan diri sebagai akibat dari adanya keterbatasan. Salah satu bentuk intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah discharge planning (perencanaan pemulangan pasien) untuk mempromosikan tahap kemandirian tertinggi kepada pasien, teman-teman, dan keluarga dengan menyediakan, memandirikan aktivitas perawatan diri (The Royal Marsden Hospital, 2004). Discharge planning yang tidak baik dapat menjadi salah satu faktor yang memperlama proses penyembuhan di rumah. Kesuksesan tindakan discharge planning menjamin pasien mampu melakukan tindakan perawatan lanjutan yang sama dan realistis setelah meningkalkan rumah sakit. (Hou, 2001 dalam Perry & Potter, 2006). Dari data diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian adakah pengaruh discharge planning yang di lakukan oleh perawat terhadap kesiapan pasien pasca bedah abdomen menghadapi pemulangan di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: “Apakah ada Pengaruh Discharge Planning yang Dilakukan Oleh Perawat Terhadap Kesiapan Pasien Pascabedah Abdomen Menghadapi Pemulangan di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar?”. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Mengetahui pengaruh discharge planning yang dilakukan oleh perawat terhadap kesiapan pasien pascabedah abdomen menghadapi pemulangan di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar. Tujuan Khusus Penelitian ini memiliki tujuan khusus untuk mengidentifikasi: Mengidentifikasi tingkat kesiapan pasien pascabedah abdomen menghadapi pemulangan sebelum dilakukan discharge planning oleh perawat. Mengidentifikasi tingkat kesiapan pasien pascabedah abdomen menghadapi pemulangan setelah dilakukan discharge planning oleh perawat. Manfaat Penelitian Manfaat Praktis Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan akan digunakan oleh perawat diruangan untuk melakukan discharge planning dalam mempersiapkan pasien menghadapi pemulangan, agar mampu melakukan perawatan berkelanjutan di rumah. Manfaat Institusi Hasil penelitian ini diharapkan akan digunakan oleh pendidikan keperawatan agar memberikan materi tentang discharge planning kepada mahasiswa. Manfaat bagi peneliti Hasil penelitian ini diharapkan akan dipergunakan sebagai bahan masukan untuk penelitian selanjutnya, untuk meneliti pengaruh discharge planning yang dilakukan oleh perawat untuk mempersiapakan pasien menghadapi pemulangan khususnya pada pasien yang non operatif.   BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan umum tentang variabel Tinjauan Umum tentang Pasca Operasi Abdomen Defenisi Pasca operasi abdomen adalah kondisi di mana gejala utamanya nyeri di perut, terjadi secara tiba-tiba dan untuk penanggulangannya biasanya tindakan pembedahan di perlukan (Reksoprodjo, 2002). Soewandi (1992) mengatakan bahwa pasca operasi abdomen merupakan sebuah terminologi yang menunjukkan adanya keadaan darurat dalam abdomen yang dapat berakhir dengan kematian bila tidak ditanggulangi dengan pembedahan. Pasca operasi abdomen adalah suatu kegawatan abdomen dapat terjadi karena masalah bedah dan non bedah. (Aru W. Sudoyono, 2009). Sedangkan indoskripsi. com (2011) mengatakan bahwa gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan dirongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada perforasi, perdarahan intra abdomen, infeksi, obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat menyababkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonotis. Peradangan peritonium merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari rongga-rongga abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastodoudenal), ruptur saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau akibat luka tembus abdomen. Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. (indoskripsi.com.2009) Etiologi Rasa nyeri perut dapat disebabkan oleh kelainan-kelainan di abdomen atau di luar abdomen seperti organ-organ di rongga thoraks. Banyak kondisi yang dapat menimbulkan akut abdomen apapun penyebabnya gejala utama menonjol adalah nyeri pada daerah abdomen (Soewandi, 1992). Maududy (2007) menyebutkan bahwa penyebab nyeri abdomen tersering pasca operasi antara lain: Kelainan traktus gastrointestinal, misalnya nyeri non-spesifik, appendisitis, infeksi usus halus dan usus besar, hernia strangulata, perforasi ulkus peptik, perforasi usus, divertikulitis meckel, sindrom boerhaeve, kelainan inflamasi usus, sindrom mallory weiss, gastroenteritis, gastritis akut, adenitis mesenterika. Kelainan pangkreas, misanya pangkreatitis akut, yaitu terjadinya inflamasi akut pada pangkreas. Kelainan traktus urinarius, misalnya kolik renal atau ureteral, pielonefritis akut, sistisis akut, infark renal. Kelainan hati, limpa, dan traktus biliaris, misalnya kolesistitis akut, kolangitis akut, abses hati, ruptur tumor hepar, ruptur spontan limfa, infark limfa, kolik belier, hepatitis akut Kelainan ginekologi, misalnya kehamilan ektopik terganggu, tumor ovarium terpuntir, ruptur kista folikel ovarium, salpingitis akut, dismenorea, endometriosis. Kelainan vaskuler, misalnya ruptur aneurisma aorta dan visceral, iskemia kolitis akut, trombosis mesenterika. Kelainan peritoneal, misanya abses intra abdomen, peritonitis primer,peritonitis TBC. Kelainan retroperitoneal,misalnya perdarahan retroperitoneal akibat ruptur aneurisma pada aorta abdominal, dan perdarahan akut pangkreatitis. Tanda dan gejala Tanda dan gejala abdomen menurut Alspach (2006 ) antara lain : nyeri persisten abdomen, nyeri tajam, mual, muntah, refluks, atau anoreksia; perubahan pola defekasi; distensi abdomen, hiperaktif atau hipoaktif peristaltik usus; abdomen terjaga, bising usus; demam, pucat, takipnea; dehidrasi; kejadian trauma tumpul atau tajam, serta melalui bau feses atau drainase lambung. komplikasi pasca bedah Tindakan pembedahan dapat menimbulkan berbagai macam resiko/ancaman. Berikut adalah komplikasi pembedahan menurut Rondhianto (2008), yaitu: syok (tanda-tanda: pucat, kulit dingin, basah, pernafasan cepat, sianosis pada bibir, gusi, dan lidah,nadi cepat, lemh dan bergetar, penurunan tekanan darah, urine pekat), perdarahan trombosis vena provunda (komplikasi serius yang bisa di timbulkan adalah embolisme pulmonari dan sindrom pascaflebitis), retensi urine,infeksi luka operasi (dehisiensi, evicerasi, fistula, nekrose, abses), sepsis (dapat menyebabkan kematian bagi pasien karena dapat menyebabkan kegagalan multiorgan), embolisme pulmonal (mengakibatkan pasien merasa nyeri seperti di tusuk-tusuk dan sesak nafas, cemas dan sianois), serta komplikasi gastrointestinal (obstruksi intestinal, nyeri dan juga distensi abdomen). Sedangkan Morison (2003) mengatakan bahwa komplikasi luka bedah yang mungkin timbul antara lain: perdarahan primer (perdarahan yang dijumpai segera sesudah pembedahan selesai), perdarahan sekunder (perdarahan yang terjadi beberapa hari setelah pembedahan akibat erosi pembuluh darah akibat infeksi, atau akibat nekrosis tekan), infeksi luka, dehisensi luka (rusaknya sebagian atau keseluruhan luka dan dapat berhubungan atau tidak berhubungan dengan infeksi luka), terbentuknya sinus, terbentuknya fistula, serta terjadi hernia insisional. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka pembedahan Usia rasionalnya makin tua pasien, makin kurang lenturan jaringan. Penanganan jaringan rasionalnya penanganan yang kasar menyebabkan cedera dan memperlambat penyembuhan. Hemoragi rasionalnya akumalasi darah menciptakan ruang rugi juga sel-sel mati yang harus disingkirkan area menjadi media pertumbuhan untuk infeksi Hipovolemia rasionalnya volume darah yang tidak mencukupi mengarah pada vasokontriksi dan penurunan oksigen dan nutrien yang tersedia untuk penyembuhan luka Faktor lokal edema penurunan suplai oksigen melalui gerakan meningkatkan tekanan interstitial pada pembuluh Teknik pembalutan yang tidak adeuat terlalu kecil,terlalu kencang rasionalnya memungkinkan invasi dan kontaminasi bakteri mengurangi suplai oksigen yang membawa nutrien dan oksigen. Defisit nutrisi rasionalnya sekresi insulin dapat dihambat,sehingga menyebabkan glukosa darah meningkat. Benda asing Rasionalnya benda asing memperlambat penyembuhan. Defisit oksigen, insufisien oksigenasi jaringan Rasionalnya oksigen yang tidak memadai dapat diakibatkan tidak adekuatnya fungsi paru Penumpukan drainase rasionalnya sekresi yang menumpuk mengganggu proses penyembuhan. Medikasi steroid Rasionanya dapat menyamarkan adanya infeksi dengan mengganggu respons inflamasi normal. Antikoagulan Rasionalnya dapat menyebabkan hemoragi Antibiotik spektrum, luas/spesifik Rasionalnya efektif bila diberikan segera sebelum pembedahan untuk patologi spesifik atau kontaminasi bakteri. Overaktivitas pasien Rasionalnya menghambat perapatan tepi luka, mengganggu penyembuhan yang diinginkan. Gangguan sistemik syok hemoragik, Asidosis, Hipoksia, gagal ginjal, Penyakit hepar, Sepsis. Rasionalnya ini merupakan depresan fungsi sel yang secara langsung mempengaruhi penyembuhan luka. Status imunosupresi Rasionalnya pasien lebih rentan terhadap invasi bakteri/ virus; mekanisme pertahanan tubuh mengalami kerusakan. Stresor luka, Muntah, Manuver Valsava, Batuk kuat, Mengejan Rasional menghasilkan tegangan pada luka, terutama torso. (Brunner & Suddarth 2002) Wysocky (1989, dalam Capernito 1999) menyatakan bahwa pasien yang beresiko terhadap perlambatan penyembuhan luka adalah pasien dengan masalah kesehatan seperti malnutrisi, merokok, obesitas, anemia, diabetes atau kanker, terapi kortikosteroid, insufisiensi ginjal, hipovolemia, hipoksia, defisiensi zat kimia, tembaga atau magnesium, durasi pembedahan lebih daripada 3 jam, pembedahan malam atau darurat, serta adanya gangguan imunitas. Anjuran nutrisi pada pasien pasca bedah Masukan nutrisi harian yang dibutuhkan secara optimal pada pasien pascabedah mencakup peningkatan masukan protein dan karbohidrat; vitamin A,B,B₂,B₆,B₁₂,C,D,E,dan miasin; masukan mineral adekuat (seng, magnesium, kalsium, tembaga) (Wysocki, 1989 dalam Capernito, 1999). Kebutuhan nutrisi harian adalah berkisar 2500-3000 kalori per hari. Dan 100-250 gram protein yang sumber-sumbernya antara lain produk susu, daging, unggas, ikan, dan padi-padian. Sumber vitamin B kompleks yaitu daging, kacang-kacangan, dan sereal diperkaya. Kebutuhan vitamin C sebesar 75-100 mg yang bersumber dari sayuran hijau dan buah jeruk. Kebutuhan fosfor, magnesium, dan vitamin D yang bersumber dari multivitamin (Wysocky, 1989 dalam Capernito, 1999). Tinjauan Umum tentang Discharge Planning Defenisi Kozier (2004) mendefenisikan Discharge Planning sebagai proses mempersiapkan pasien untuk meningkalkan satu unit pelayanan kepada unit yang lain di dalam atau di luar suatu agen pelayanan kesehatan umum. Rondhianto (2008) mendefenisikan Discharge Planning sebagai merencanakan kepulangan pasien dan memberikan informasi kepada klien dan keluarganya tentang hal-hal yang perlu dihindari dan dilakukan sehubungan dengan kondisi/ penyakit pascabedah. Discharge Planning sebaiknya dilakukan sejak pasien diterima di suatu agen pelayanan kesehatan, terkhusus di rumah sakit dimana rentang waktu pasien menginap semakin diperpendek. Discharge planning yang efektif seharusnya mencakup pengkajian berkelanjutan untuk mendapatkan informasi yang komprehensif tentang kebutuhan pasien yang berubah-ubah, pernyataan diagnosa keperawatan, perencanaan untuk memastikan kebutuhan pasien sesuai dengan apa yang dilakukan oleh pemberi layanan kesehatan (Kozier, 2004). Pemberi Layanan Discharge Planning Proses discharge planning harus dilakukan secara komprehensif dan melibatkan multidisiplin, mencakup semua pemberi layanan kesehatan yang terlibat dalam memberi layanan kesehatan kepada pasien (Perry & Potter, 2006). Discharge planning tidak hanya melibatkan pasien tetapi juga keluarga, teman-teman, serta pemberi layanan kesehatan dengan catatan bahwa pelayanan kesehatan dan sosial bekerja sama (Hurlock, 1997). Seseorang yang merencanakan pemulangan atau koordinator asuhan berkelanjutan (continuing care coordinator) adalah staf rumah sakit yang berfungsi sebagai konsultan discharge planning bersamaan dengan fasilitas kesehatan, menyediakan pendidikan kesehatan yang memotivasi staf rumah sakit untuk merencanakan dan mengimplementasikan discharge planning (discharge planning association, 2008). Penerima Discharge Planning Semua pasien yang dihospitalisasi memerlukan discharge planning (discharge planning association, 2008). Namun ada beberapa kondisi yang menyebabkan pasien beresiko tidak dapat memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang berkelanjutan setelah pasien pulang, seperti pasien yang menderita penyakit terminal atau pasien dengan kecacatan permanen (Rice, 1992 dalam Perry & Potter, 2005). Pasien dan seluruh anggota keluarga harus mendapatkan informasi tentang semua rencana pemulangan (Medical Mutual of Ohio, 2008). Tujuan Discharge planning Discharge planning bertujuan memberikan pelayanan terbaik untuk menjamin keberlanjutan asuhan berkualitas antara rumah sakit dan komunitas yang efektif (Discharge planning Association, 2008) The royal Marsden Hospital (2004) menyatakan bahwa tujun dilakukan discharge planning antara lain untuk mempersiapkan pasien dan keluarga secara fisik dan psikologis untuk di transfer ke rumah atau suatu lingkungan yang dapat disetujui, menyediakan informasi tertulis dan verbal kepada pasien dan pelayanan kesehatan untuk mempertemukan kebutuhan mereka dalam proses pemulangan, memfasilitasi proses perpindahan yang nyaman dengan memastikan semua fasilitas pelayanan kesehatan yang diperlukan telah dipersiapkan untuk menerima pasien, mempromosikan tahap kemandirian yang tertinggi kepada pasien, teman-teman, dan keluarga dengan menyediakan, memandirikan aktivitas perawatan diri. Prinsip Discharge Planning Ketika melakukan discharge planning dari suatu lingkungan kelingkungan yang lain, ada beberapa prinsip yang harus diikuti/diperhatikan. Berikut ini adalah beberapa prinsip yang dikemukakan oleh The Royal Marsden Hospital (2004), yaitu: Discharge Planning harus merupakan proses multidisiplin, dimana sumber-sumber untuk mempertahankan kebutuhan pasien dengan pelayanan kesehatan ditempatkan pada satu tempat Prosedur Discharge Planning harus dilakukan secara konsisten dengan kualitas tinggi pada semua pasien Kebutuhan pemberi asuhan (care giver) juga harus dikaji Pasien harus dipulangkan kepada suatu lingkungan yang aman dan adekuat keberlanjutan perawatan antar lingkungan harus merupakan hal yang terutama informasi tentang penyusunan pemulangan harus diinformasikan antar tim kesehatan dengan pasien/care giver, dan kemampuan terakhir disediakan dalam bentuk tertulis tentang perawatan berkelanjutan kebutuhan atas kepercayaan dan budaya pasien harus dipertimbangkan ketika menyusun discharge planning. Proses Penatalaksanaan Discharge Planning Proses Discharge Planning mencakup kebutuhan fisik pasien, psikologis, sosial, budaya, dan ekonomi. Perry & Potter (2006) membagi proses discharge planning atas tiga fase, yaitu akut, transisional, dan pelayanan berkelanjutan. Pada fase akut, perhatian utama medis berfokus pada usaha Discharge planning. Sedangkan pada fase transisional, kebutuhan pelayanan akut selalu terlihat, tetapi tingkat urgensinya semakin berkurang dan pasien mulai dipersiapkan untuk pulang dan merencanakan kebutuhan perawatan masa depan. Pada fase pelayanan berkelanjutan, pasien mampu untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan aktivitas perawatan berkelanjutan yang dibutuhkan setelah pemulangan. Penatalaksanaan Penatalaksanaan dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu penatalaksanaan yang dilakukan sebelum hari pemulangan, dan penatalaksanaan yang dilakukan pada hari pemulangan. Persiapan sebelum hari kepulangan klien Menganjurkan cara untuk merubah keadaan rumah demi memenuhi kebutuhan pasien Mempersiapkan pasien dan keluarga dengan memberikan informasi tentang sumber-sumber pelayanan kesehatan komunitas. Rujukan dapat dilakukan sekalipun pasien masih di rumah. Setelah menentukan segala hambatan untuk belajar serta kemauan untuk belajar, mengadakan sesi pengajaran dengan pasien dan keluarga secepat mungkin selama dirawat di rumah sakit (seperti tanda dan gejala terjadinya komplikasi, kepatuhan terhadap pengobatan, kegunaan alat-alat medis, perawatan lanjut, diet, latihan, pembatasan yang disebabkan oleh penyakit atau pembedahan). Pamflet, buku-buku, atau rekaman video dapat diberikan kepada pasien. Pasien juga dapat diberitahu tentang sumber-sumber informasi yang ada di internet. Komunikasikan respon pasien dan keluarga terhadap penyusulan dan usulan perencanaan pulang kepada anggota tim kesehatan lain yang terlibat dalam perawatan pasien. Penatalaksanaan pada hari pemulangan Jika beberapa aktivitas berikut ini dapat dilakukan sebelum hari pemulangan, perencanaan yang dilakukan akan lebih efektif. Adapun aktivitas yang dilakukan pada hari pemulangan antara lain : a) Biarkan pasien dan kelurga bertanya dan diskusikan isu-isu yang berhubungan dengan perawatan dirumah. Kesempatan terakhir untuk mendemostrasikan kemampuan juga bermanfaat. b) Periksa instruksi pemulangan dokter, masukkan dalam terapi, atau kebutuhan akan alat-alat medis yang khusus. (instruksikan harus dituliskan sedini mungkin) persiapkan kebutuhan dalam perjalanan dan sediakan alat-alat yang dibutuhkan sebelum pasien sampai di rumah (seperti tempat tidur rumah sakit, oksigen, feeding pump). c) Tentukan apakah pasien dan kelurga telah dipersiapkan dalam kebutuhan transportasi menuju kerumah. d) Tawarkan bantuan untuk memakaikan baju pasien dan mengepak semua barang milik pasien. Juga privasi pasien sesuai kebutuhan. e) Periksa seluruh ruangan dan laci untuk memastikan barang-barang pasien. Dapatkan daftar pertinggal barang-barang berharga yang telah ditanda tangani oleh pasien, dan instruksikan penjaga atau administrator yang tersedia untuk menyampaikan barang-barang berharga kepada pasien. f) Persiapakan pasien dengan prescription atau resep pengobatan pasien sesuai dengan yang diinstruksikan oleh dokter. Lakukan pemeriksaam terakhir untuk kebutuhan informasi atau fasilitas pengobatan yang aman untuk administrasi diri. g) Berikan informasi tentang petunjuk untuk janji follow up kekantor dokter. h) Hubungi kantor agen bisnis untuk menentukan apakah pasien membutuhkan daftar pengeluaran untuk kebutuhan pembayaran. Anjurkan pasien dan keluarga mengunjungi kantornya. i) Dapatkan kotak untuk memindahkan barang-barang pasien. Kursi roda untuk pasien yang tidak mampu ke mobil ambulans. Pasien yang pulang dengan menggunakan ambulans diantarkan oleh usungan ambulans. j) Bantu pasien menuju kursi roda atau usungan dan gunakan sikap tubuh dan tehnik pemindahan yang sopan. Dampingi pasien memasuki unit dimana transportasi yang dibutuhkan sedang menunggu. Kunci roda dari kursi roda. Bantu pasien pindah ke mobil pribadi atau kendaraan untuk transportasi. Bantu keluarga menempatkan barang-barang pribadi pasien ke dalam kendaraan. k) Kembali ke bagian, dan laporkan waktu pemulangan kepada departemen pendaftaran/penerimaan. Ingatkan bagian kebersihan untuk membersihkan ruangan pasien. Unsur-Unsur Discharge Planning Discharge Planning Association (2008) mengatakan bahwa unsur-unsur yang harus ada pada sebuah form perencanaan pemulangan antara lain: Pengobatan di rumah, mencakup resep baru, pengobatan yang sangat dibutuhkan, dan pengobatan yang harus dihentikan. Daftar nama obat harus mencakup nama, dosis, frekuensi, dan efek samping yang umum terjadi. Kebutuhan akan hasil test laboratorium yang dianjurkan, dan pemeriksaan lain, dengan petunjuk bagaimana untuk memperoleh atau bilamana waktu akan diadakannya Bagaimana melakukan pilihan gaya hidup dan tentang perubahan aktivitas, latihan, diet makanan yang dianjurkan dan pembatasannya Petunjuk perawatan diri (perawatan luka, perawatan kolostomi, ketentuan insulin, dan lain-lain). Kapan dan bagaimana perawatan dan pengobatan selanjutnya yang akan dihadapi setelah dipulangkan. Namun pemberi layanan, waktu, tanggal, dan lokasi setiap janji untuk kontrol. Apa yang harus dilakukan pada keadaan darurat dan nomor telepon yang bisa dihubungi untuk melakukan peninjauan ulang petunjuk pemulangan. Bagaimana mengatur perawatan lanjutan (jadwal pelayanan di rumah, perawat yang menjenguk, penolong, pembantu jalan; Walker, kanul, oksigen, dan lain-lain) Beserta dengan nama dan nomor telepon setiap institusi yang bertanggungjawab untuk menyediakan pelayanan Swearingen (2000) menyatakan bahwa informasi yang harus diketahui oleh pasien pascabedah abdomen dan orang terdekat sebelum pemulangan antara lain: Obat-obatan, meliputi nama obat, tujuan, dosis, jadwal, tindakan pencegahan, interaksi obat/obat dan makanan/obat, dan potensial efek samping. Pentingnya penatalaksanaan diet untuk meningkatkan pemeliharaan nutrisi dan cairan. Diet yang dianjurkan antara lain: diet normal yang mengikuti semua empat kelompok makanan (daging, telur, dan ikan; susu dan keju; sereal dan roti) dan minuman cairan yang adekuat (sedikitnya 2-3 L/hari). Ingatkan pasien untuk mrnghindari kacang-kacangan, buah beri, dan makanan dengan biji. Perawatan insisi, penggantian balutan, dan izin untuk mandi atau mandi pancuran jika jahitan sudah diangkat. Pembatasan aktivitas pasca bedah sesuai petunjuk: biasanya mengangkat benda yang berat (>4 kg), mendorong, menarik, dan mengedan dikontraindikasikan selama kira-kira 6 minggu untuk mencegah terjadinya herniasi insisi. Antisipasi kembali bekerja dalam 2 minggu untuk pekerja kantor, dan 6 minggu untuk pekerja buruh. Waspadalah terhadap dan istirahat setelah gejalah kelelahan, beristirahatlah semaksimal mungkin, meningkatkan aktivits secara bertahap sesuai toleransi. Pentingnya melaporkan tanda dan gejala terjadinya infeksi luka: kemerahan menetap, bengkak, drainase purulen, hangat lokal, bau busuk, dan nyeri. Pentingnya perawatan lanjutan dengan dokter atau perawat, pastikan tanggal dan waktu perjanjian berikutnya. Cara Mengukur Discharge Planning Sebuah discharge planning dikatakan baik apabila pasien telah dipersiapkan untuk pulang, pasien telah mendapatkan penjelasan-penjelasan yang diperlukan, serta instruksi-instruksi yang harus dilakukan, serta apabila pasien diantarkan pulang sampai ke mobil atau alat transportasi lainnya (The Royal Marsden Hospital, (2004). Kesuksesan tindakan Discharge Planning menjamin pasien mampu melakukan tindakan perawatan lanjutan yang aman dan realistis setelah meninggalkan rumah sakit (Hou, 2001 dalam Perry & Potter, 2006). Hal ini dapat di lihat dari kesiapan pasien untuk menghadapi pemulangan, yang di ukur dengan kuesioner. Kesiapan pasien menghadapi pemulangan Defenisi dan Komponen Kesiapan Menurut Martinsusilo (2007), ada dua komponen utama dari kesiapan yaitu kemampuan dan keinginan. Kemampuan adalah pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang dimiliki seorang ataupun kelompok untuk melakukan kegiatan atau tugas tertentu. Sedangkan keinginan berkaitan dengan keyakinan, komitmen dan motifasi untuk menyelesaikan tugas atau kegiatan tertentu. Kesiapan merupakan kombinasi dari kemampuan dan keinginan yang berbeda yang ditunjukkan seseorang pada tiap-tiap tugas yang diberikan. Berdasarkan hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesiapan pasien menghadapi pemulangan adalah kemampuan yang mencakup, pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan serta keinginan yang mencakup keyakinan, komitmen, dan motivasi pasien pascabedah abdomen untuk melakukan aktivitas atau kegiatan yang diajarkan serta dianjurkan oleh perawat dan klinis lain. Pasien dinyatakan siap menghadapi pemulangan apabila pasien mengetahui pengobatan, tanda-tanda bahaya, aktivitas yang dilakukan, serta parawatan lanjutan di rumah (The Royal Marsden Hospital, 2004). Kriteria Pemulangan Perry & Potter (2005) mengatakan bahwa pada saat pulang, pasien harus mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan sumber yang dibutuhkan untuk memenuhi perawatan dirinya. Kesuksesan tindakan discharge planning menjamin pasien mampu melakukan tindakan perawatan lanjutan yang aman dan realistis setelah meninggalkan rumah sakit (Hou, 2001 dalam Perry & Potter, 2006). Oleh karena itu pasien dinyatakan siap menghadapi pemulangan apabila pasien mengetahui pengobatan, tanda- tanda bahaya, aktivitas yang dilakukan, serta perawatan lanjutan di rumah (The Royal Marsden Hospital, 2004). Pasien dan keluarga memahami diagnosa, antisipasi tingkat tingkat fungsi, obat-obatan dan tindakan pengobatan untuk kepulangan, antisipasi perawatan tindak lanjut, dan respon yang di ambil pada kondisi kedaruratan (Perry dan Potter, 2005). Capernito (1999) mengatakan bahwa sebelum pulang pasien pascabedah dan keluarga akan mampu menggambarkan pembatasan aktivitas di rumah, menggambarkan penatalaksanaan luka dan nyeri di rumah, mendiskusikan kebutuhan cairan dan nutrisi untuk pemulihan luka, menyebutkan tanda dan gejala yang harus dilaporkan pada tenaga kesehatan, serta menggambarkan perawatan lanjutan yang diperlukan. Tingkat Kesiapan Martinsusilo (2007) membagi tingkat kesiapan berdasarkan kuantitas keinginan dan kemampuan bervariasi dari sangat tinggi hingga sangat rendah, antara lain : Tingkat kesiapan 1 (R1) Tidak mampu dan tidak ingin, yaitu tingkatan tidak mampu dan hanya memiliki sedikit komitmen dan motivasi. Tidak mampu dan ragu, yaitu tingkatan tidak mampu dan hanya memiliki sedikit keyakinan. Tingkat kesiapan 2 (R2) Tidak mampu tetapi berkeinginan, yaitu tingkatan yang memiliki sedikit kemampuan tetapi termotivasi dan berusaha. Tidak mampu tetapi percaya diri, yaitu tingkatan yang hanya memiliki sedikit kemampuan tetapi tetap merasa yakin. Tingkatan Kesiapan 3 (R3) Mampu tetapi ragu, yaitu tingkatan yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas tetapi tidak yakin dan khawatir untuk melakukannya sendiri Mampu tetapi tidak ingin, yaitu tingkatan yang memiliki kemampuan untuk melakukan suatu tugas tetapi tidak ingin menggunakan kemampuan tersebut. Tingkatan kesiapan 4 (R4) Mampu dan ingin, yaitu tingkatan yang memiliki kemampuan untuk melakukan tugas seringkali menyukai tugas tersebut. Mampu dan yakin, yaitu tingkatan yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dan yakin dapat melakukannya seorang diri. Model keperawatan Dorothea Orem Model konseptual Dorothea Orem (2001, dalam Alligood & Tomey, 2006) terdiri dari tiga teori yang saling berhubungan, yaitu teori perawatan diri yang menggambarkan mengapa dan bagaimana manusia merawat dirinya sendiri, teori defisit perawatan diri yang menggambarkan dan menjelaskan mengapa manusia dapat dibantu melalui keperawatan, dan teori sistem keperawatan yang menggambarkan dan menjelaskan hubungan yang harus di bawah dan dipertahankan agar keperawatan dapat dihasilkan. Teori Perawatan Diri Perawatan diri sendiri adalah perilaku yang diperlukan secara pribadi dan berorientasi pada tujuan yang berfokus pada kapasitas individu yang bersangkutan untuk mengatur dirinya dan lingkungan dengan cara sedemikian rupa sehingga ia tetap bisa hidup, menikmati kesehatan dan kesejahteraan, dan berkontribusi dalam perkembangannya sendiri (Orem, 1985 dalam Basford, 2006). Perawatan diri sendiri dibutuhkan oleh setiap manusia, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak. Ketika perawatan diri tidak dapat dipertahankan, akan terjadi kesakitan atau kematian. Teori Defisit Perawatan Diri Orem (2001, dalam Alligood & Tomey, (2006) mengatakan bahwa defisiensi perawatan diri adalah kesenjangan antara kebutuhan perawatan diri terapeutik individu dan kekuatan mereka sebagai agen perawat diri yang mana unsur pokok perkembangan kemampuan perawatan diri tidak berjalan atau tidak adekuat untuk mengetahui atau mempertemukan sebagian atau semua komponen yang ada atau membangun kebutuhan perawatan diri terapeutik. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa jika seseorang tidak cukup mampu untuk merawat dirinya sendiri berkaitan dengan kesehatannya maka ia dikatakan menderita defisit perawatan diri (Orem, 1985 dalam Basford, 2006). Oleh karena itu diperlukan perawat yang bertindak sebagai agen keperawatan yang berhak membangun hubungan interpersonal untuk melakukan, mencari tahu, dan membantu pasien untuk mempertemukan kebutuhan perawatan diri terapeutik mereka dan meregulasi perkembangan atau melatih kemampuan mereka sebagai agen perawatan diri sendiri (Orem, 2001 dalam Alligood & Tomey, 2006). Teori Sistem Keperawatan Orem (1985, dalam Basford, 2006) menjelaskan sistem keperawatan sebagai “serangkaian tindakan kontinu yang dihasilkan ketika perawat menghubungkan satu atau sejumlah cara membantu pasien dengan tindakannya sendiri atau tindakan seseorang di bawah perawatan yang diarahkan untuk memenuhi tuntutan perawatan diri terapeutik orang tersebut atau untuk mengatur perawatn diri mereka”. Sebagai agen keperawatan, perawat menerapkan sistem keperawatan yang merupakan tindakan praktek keperawatan yang dilakukan secara berkesinambungan dan bertahap dengan berkoordinasi dengan pasien untuk mengetahui dan memenuhi komponen kebutuhan perawatan diri terapeutik pasien mereka dan melindungi dan meregulasi latihan atau perkembangan kemampuan pasien sebagai agen perawat diri sendiri (Orem, 2001 dalam Olligood & Tomey, 2006). Untuk mengetahui apakah pasien dapat berkontribusi dan kontribusi apa yang harus diberikan perawat, Orem (1985, dalam Basford, 2006) membedakang tia sistem keperawatan yaitu : Suportif-edukatif, yaitu jika pasien mampu melakukan atau belajar tentang perawatan diri, maka intervensi keperawatan harus dibatasi misalnya hanya pada pemberian dukungan dan pendidikan. Kompensasi parsial, yaitu pasien memiliki beberapa kemampuan untuk melakukan perawatan diri tetapi tidak dapat mencapai perawatan diri total jika tidak dibantu, dan perawat harus membantu pasien dalam melakukan tugas-tugas tersebut. Kompensasi total, yaitu jika pasien secara total tidak dapat melakukan perawatan diri sendiri, dan perawat harus melakukan semua tugas-tugas tersebut untuk pasien, bahkan dalam hal kebutuhan perawatan diri umum seperti memandikan dan memberi makan pasien. Kerangka konseptual Variable independen Variable Dependen Pre Test Post tes Keterangan: : Variabel Independen : Variabel Dependen : Variabel yang diteliti Defenisi operasional Defenisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut: Discharge Planning Merupakan tindakan yang dilakukan oleh perawat dalam mempersiapkan pasien menghadapi pemulangan berkaitan dengan pengetahuan pasien tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dan dipatuhi pasien setelah berada di rumah, seperti obat-obatan, tanda-tanda bahaya, perawatan di rumah, aktivitas di rumah, diet di rumah, serta perawatan lanjutan. Sesuai dengan leaflet Discharge Planning Kesiapan Pasien Menghadapi Pemulangan Pasien dan keluarga harus mengetahui bagaimana cara memanajemen pemberian perawatan di rumah dan mengetahui apa yang diharapkan di dalam memperhatikan masalah fisik yang berkelanjutan sebelum menghadapi pemulangan, Oleh karena itu pasien perlu dipersiapkan untuk menghadapi pemulangan dengan melakukan discharge planning, dimana pasien mampu melakukan perawatan diri di rumah demi kesembuhannya ( http://library.usu. ac.idindex. Php?option = com _journal_review&id=13317&task=view ). Menurut Martinsusilo (2007), ada dua komponen utama dari kesiapan yaitu kemampuan dan keinginan. Kemampuan adalah pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang dimiliki seorang ataupun kelompok untuk melakukan kegiatan atau tugas tertentu. Sedangkan keinginan berkaitan dengan keyakinan, komitmen, dan motivasi untuk menyelesaikan tugas atau kegiatan tertentu. Kesiapan merupakan kombinasi dari kemampuan dan keinginan yang berbeda yang ditunjukkan seseorang pada tiap-tiap tugas yang diberikan. Berdasarkan hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesiapan pasien menghadapi pemulangan adalah kemampuan yang mencakup pengetahuan, pengalaman, danketerampilan serta keinginan yangmencakup keyakinan, komitmen,dan motivasi pasien pasca bedah abdomen untuk melakukan aktifitas ataukegiatan yangdiajarkan sertadianjurkan oleh perawat dan klinisi lain. Pasien dinyatakan siapmenghadapi pemulangan apabila pasien mengetahui pengobatan, tanda-tanda bahaya,aktivitas yang dilakukan, serta perawatan lanjutan di rumah (The Royal Marsden Hospital, 2004). Kesiapan pasien menghadapi pemulangan dalam penelitian ini adalah kemampuan pasien pascabedah abdomen untuk menyebutkan pengetahuan (tindakan pengobatan di rumah, tanda-tanda bahaya, perawatan luka, aktivitas di rumah, diet di rumah, serta perawatan lanjutan) sebelum pasien dipulangkan, yang diukur dengan kuesioner kesiapan pasien pascabedah abdomen menghadapi pemulangan. Kriteria objektif : Tingkat kesiapan 1 (R1) = jika responden mendapatkan skor 28-48 dari pertanyaan yang diberikan Tingkat kesiapan 2 (R2) = jika responden mendapatkan skor 49-69 dari pertanyaan yang diberikan Tingkat kesiapan 3 (R3) = jika responden mendapatkan skor 70-90 dari pertanyaan yang diberikan Tingkat kesiapan 4 (R4) = jika responden mendapatkan skor 91-112 dari pertanyaan Hipotesis penelitian Berdasarkan masalah penelitian, maka hipotesis penelitian ini adalah: Ha= Ada pengaruh discharge planning yang dilakukan oleh perawat terhadap kesiapan pasien pascabedah abdomen menghadapi pemulangan. H0= Tidak ada pengaruh discharge planning yang dilakukan oleh perawat terhadap kesiapan pasien pascabedah abdomen menghadapi pemulangan.   BAB III METODE PENELITIAN Desain penelitian Desain penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah desain quasi eksperimen yaitu desain yang bertujuan untuk mengungkapkan kemungkinan adanya pengaruh discharge planning yang dilakukan oleh perawat terhadap kesiapan pasien pascabedah abdomen menghadapi pemulangan. Rancangan penelitian yang digunakan yaitu one group pre and post test design, yang melibatkan satu kelompok subyek serta melakukan pengukuran tingkat kesiapan pasien menghadapi pemulangan sebelum pemberian intervensi yang memungkinkan peneliti dapat menguji perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya intervensi (discharge planning) (Notoatmodjo, 2005). Dan membandingkan one group yang tidak dilakukan Discharge Planning Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di ruang rawat inap bedah Rumah Sakit Labuang Baji Makassar, mengingat rumah sakit ini adalah rumah sakit pemerintah, dan merupakan rumah sakit pendidikan yang memungkinkan peneliti mendapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April-Mei 2013. Populasi Dan Sample Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien abdomen yang telah menjadi pembedahan dan sedang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar sebanyak 7 orang. Sample Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling, yaitu cara pengambilan sampel untuk tujuan tertentu. Dalam penelitian ini peniliti mendapatkan 7 sampel responden. Kriteria Inklusi Pasien pascabedah abdomen Telah menjalani perawatan diruang rawat inap lebih dari 2 hari Pria/Wanita berusia 18-50 tahun Kriteria Ekslusi Tidak Memiliki kesadaran penuh sehingga memiliki halangan untuk belajar Memiliki penyakit komplikasi Tidak Bersedia menjadi responden penelitian. Tehnik Pengumpulan Data Tehnik yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang didasarkan pada tinjauan pustaka. Kuesioner terdiri dari 2 bagian, yaitu data demografi dan data tingkat kesiapan pasien pascabedah abdomen menghadapai pemulangan. Kuesioner Data demografi Terdiri dari 2 jenis kelamin, usia, status pernikahan, suku bangsa, pendidikan terakhir, pekerjaan, diagnosa penyakit, post op hari keberapa, pengalaman hospitalisasi dan operasi sebelumnya, serta jenis obat yang diberikan saat pasien pulang. Data demografi ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik responden dan mendeskripsikan distribusi frekuensi dan persentase demografi responden. Data kesiapan pasien pascabedah abdomen menghadapi pemulangan pre dan post Discharge Planning Kuesioner ini bertujuan untuk mengindentifikasi tingkat kesiapan pasien menghadapi pemulangan pre dan post discharge planning, dengan menggunakan pernyataan sebanyak 28 buah yang meliputi obat-obatan (1-6), tanda-tanda bahaya (7-9), perawatan luka di rumah (10-14), aktivitas di rumah (15-21), diet di rumah (22-27), dan perawatan lanjutan (28). Kuesioner penelitian ini berbentuk skala likert dimana setiap pernyataan akan diberi skor 1 hingga 4. Skor 4 mengindikasikan bahwa pasien sangat setuju dengan pernyataan, skor 3 pasien setuju, skor 2 tidak setuju, dan skor 1 sangat tidak setuju. Total skor tertinggi dalam instrumen ini adalah 112 sedangkan skor terendah adalah 28. Selanjutnya total skor akan dirangking ke dalam 4 rangking (Martinsusilo, 2007), yaitu tingkat kesiapan 1 (R1) jika skornya 28-48 artinya bahwa pasien tidak mampu dan tidak ingin atau tidak mampu dan ragu untuk menghadapi pemulangan, tingkat kesiapan 2 (R2) jika skornya 49-69 artinya bahwa pasien tidak mampu tetapi berkeinginan atau tidak mampu tetapi percaya diri menghadapi pemulangan, tingkat 3 (R3) jika skornya 70-90 artinya bahwa pasien mampu tetapi ragu atau mampu tetapi tidak ingin melakukan kegiatan yang diajarkan setelah pasien berada di rumah, dan tingkat kesiapan 4 (R4) jika skornya 91-112 artinya bahwa pasien mampu dan ingin atau mampu dan yakin melakukan kegiatan yang diajarkan setelah pasien beradah di rumah. Alat dan bahan Alat dan bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah protokol Discharge Planning, yang disusun berdasarkan daftar pustaka yaitu menggunakan proses discharge planning yang dinyatakan oleh Perry dan Potter (2005) dan dimodifikasi isinya dengan pernyataan Swearingen (2000) tentang informasi yang harus diketahui oleh pasien pascabedah abdomen dan orang terdekat sebelum pemulangan. Pengolahan Data Editing. Setelah data terkumpul peneliti akan megadakan seleksi dan editing yakni memeriksa setiap kuesioner yang telah diisi mengenai kebenaran data yang sesuai variabel. Coding. Pengisian kotak dalam daftar pertanyaan untuk pengkodean yang berdasarkan jawaban yang telah diisikan dalam kuesioner. Entri/tabulasi data. Dilakukan untuk memudahkan dalam pengolahan data kedalam suatu tabel meenurut sifat-sifat yang dimiliki sesuai dengan tujuan penelitian, atau membuat distribusi frekuensi sederhana. Table tersebut yakni hubungan antara variabel dependen (Aziz Alimul, 2007). Analisa Data Setelah dilakukan pengumpulan data, maka dilakukan analisa data, yaitu sebagai berikut: Statistik Deskriptif Analisa deskriptif statistik digunakan untuk menyajikan data-data tentang jenis kelamin, usia, status pernikahan, suku bangsa, pendidikan terakhir, pekerjaan, post op hari keberapa, data pengalaman hospitalisasi dan operasi sebelumnya, serta jenis obat yang diberikan saat pasien pulang. Analisa deskriptif statistik ini juga digunakan untuk menyajikan data tentang kesiapan pasien menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan discharge planning. Data-data tersebut disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase. Statistik Inferensial Data yang diperoleh dari kuesioner merupakan hasil pengukuran tingkat kesiapan pasien pascabedah abdomen menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan discharge planning. Hasil pengukuran tersebut dibandingkan untuk menguji hipotesis penelitian sehingga dapat diketahui pengaruh discharge planning yang dilakukan oleh perawat terhadap kesiapan pasien pascabedah abdomen menghadapi pemulangan. Perbedaan Pre dan Post Test ditentukan dengan uji t berpasangan kemudian di bandingkan dengan kontrol yang tidak dilakukan Discharge Planning menggunakan uji t tidak berpasangan. Untuk menganalisis pengaruh discharge planning terhadap kesiapan pasien pascabedah abdomen menghadapi pemulangan, maka dilakukan dengan analisa statistik non parametrik yaitu sign rank test (Wilcoxon). Pertimbangan Etik Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin penelitian dari institusi STIK Famika Makassar dan dari Rumah Sakit Labuang Baji Makassar. Sebelum menyerahkan informed consent (lembar persetujuan sebagai responden), peneliti terlebih dahulu menjelaskan maksud dan tujuan penelitian kepada calon responden. Jika responden bersedia untuk diteliti, maka peneliti menyerahkan informed consent untuk ditandatangani sebagai bukti kesediaan responden untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Pasien memiliki hak untuk menolak ke ikutsertaanya dalam penelitian atau mengundurkan diri, maka peneliti tidak akan memaksa dan menghormati haknya.